Balada Kader PMII yang Dicurangi Ketua Rayon-nya Sendiri

Oleh : Aly Reza

Bahwa kampus adalah miniatur negara—termasuk dalam urusan politik—saya sih setuju saja. Jika negara (pasca reformasi) kemudian memilih demokrasi sebagai alternatif dalam menentukan segala bentuk kebijakan, dunia kampus pun sama halnya, dari birokrasi atas sampai elemen terkecil di fakultas-fakultas. Namun masalahanya, ketika sistem demokrasi dalam bernegara sekarang seolah menjadi mitos, semu, dan tidak nyata wujudnya, apa lantas kampus juga merasa perlu turut terjangkit virus oligarki tersebut? Oke, mungkin pola-pola oligarki di beberapa kampus sudah terbaca di mata kita. Katakanlah dominasi ormek tertentu yang bertahun-tahun menjadi gurita kekuasaan, selalu mencari celah untuk menjegal lawan politisnya. Contoh yang dekat dengan saya, ehem, PMII vs HMI, dengan drama-drama politiknya yang memuakkan.

Masih ingat dengan aksi mahasiswa turun ke jalan pada September tahun lalu? Saya merasa beruntung pernah menjadi bagian dari gelombang masa yang sedemikian riuh dan lantang menyuarakan keputusasaan kepada pemerintah. Saya ini tipikal orang yang sekalinya mager, bisa nggak ngapain-ngapain seharian. Bahkan untuk sekedar ke kamar mandi loh, Rek, saya harus mengumpulkan tenaga ekstra. Dan di siang yang panas itu (tahu sendiri lah Surabaya panasanya kayak apa) saya mendedikasikan diri untuk terlibat bersama kawan-kawan lain mengibarkan tagar #REFORMASIDIKORUPSI di hadapan muka para dewan.

Belakangan saya kok merasa agak janggal. Mahasiswa yang turun ke jalan tentunya memiliki kesadaran penuh bahwa memang ada yang nggak beres dengan demokrasi. Manakala suara pemangku kepentingan jauh lebih nyaring ketimbang jerit-tangis rakyat kecil. Atau kongkalikong antar parpol untuk menjatuhkan siapapun yang jadi penghalang. Mudahnya, yang saya lihat di kampus saya, budaya semacam itu ternyata sudah mengakar kuat dan sukar untuk dibenahi. Lihat saja pemilihan-pemilihan baik dari ketua himpunan sampai presiden mahasiswa, semuanya terpola dan menciderai demokrasi. Mahasiswa yang secara sadar meneriakkan jargon REFORMASI DIKORUPSI, nyatanya secara sadar juga MENGORUPSI REFORMASI. Duh yok opo arek-arek iki. Lagi-lagi saya contohkan di kampus saya sendiri, PMII selalu hadir sebagai badan superior yang tidak menghendaki lawan sesama ormeknya untuk turut berpartisipasi dalam gelanggang percaturan politik mahasiswa.

Catatan: tulisan ini menyoroti ironi di kampus saya sendiri (UIN Sunan Ampel Surabaya). Apakah sama atau tidak dengan kasus di kampus kalian, silahkan kalian yang memberi penilaian.

Baik, saya lanjutkan. Masih mending kalau penjegalan demi penjegalan dilakukan kepada lawan politisnya—bener-bener lawan politis. Ya sebut saja PMII yang memiliki reputasi cukup mentereng dalam urusan menjegal lawan mainnya. Tahu dong siapa, itu tuh tokoh game legendaris Tekken Mobile; Yakuza. Eh Yakusa nding, salah, salah. Meski saya tetep saja nggak suka dengan persaingan keduanya yang sudah nggak sehat sedari dulu, tapi kasus ini masih lebih logis dibanding kejadian di fakultas saya (Adab dan Humaniora).

Minggu lalu, tepatnya hari Rabu (12/02) secara sah KOPURWADI Fakultas Adab dan Humaniora (FAHUM) mengumumkan paslon 01 sebagai ketua-wakil ketua Dewan Eksektuif Mahasiswa (DEMA) Fakultas periode baru. Saya dan mungkin kebanyakan mahasiswa FAHUM lainnya pasti toh sudah nggak kaget. Ha wong dari dulu begitu-begitu saja, mudah ditebak. Ada 2 paslon yang diajukan: paslon 01 tentu sudah ditargetkan untuk menang, sementara paslon 02 hanya pemanis. Kedua paslon sudah jelas merupakan kader PMII, adalah mustahil kader HMI terlibat dalam kontestasi tersebut. Pokoknya harus PMII, titik.! PMII  harga diri.!

Kalau urusannya menutup persaingan dengan kader ormek lain sih sudah biasa, ya. Yang lucu adalah ketika ternyata PMII menutup peluang untuk kadernya sendiri. Jadi beberapa hari jelang pemilihan, ada sepasang kader mereka yang menghadap kepada Ketua Rayon PMII FAHUM (tanpa menyebut nama, biar sadar-sadar sendiri aja, heuheuheu) untuk mengajukan diri ikut maju dalam pemilihan katua-wakil ketua DEMA. “Kalau sampeyan Rayon seluruh kader, maka biarkan kami berpartisipasi. Kasih kami satu partai, dan mari bersaing dengan sehat” begitu mereka menggugat. Konon, sepasang kader ini memiliki ambisi luhur: menyembuhkan borok organisasi mereka. Salut. Paling tidak begitu informasi yang saya peroleh dari pihak terkait. Apa respon ketua Rayon? Dia butuh waktu untuk mempertimbangkan. Nggak masalah, kita tunggu.

Selang beberapa hari, katua Rayon pun dengan mantab memberi jawaban, “Boleh, kalian boleh ikut bursa pemilihan, saya beri satu partai buat kalian,” jawaban yang mengalir dan melegakan. Ternyata masih ada secercah harapan untuk memperbaiki kerusakan.

“Tapi”, loh loh loh, bentar, kok masih ada tapinya? “Tapi, tetap saja, yang berhak menang harus paslon satu” imbuhnya kemudian. “Ya sama saja dong, pak. Percuma kami punya partai, menggalang suara, mencalonkan diri sebagai sepasang calon, tapi pemenangnya bahkan sudah ditentukan jauh sebelum pemilihan digelar!” protes sepasang kader yang baik ini. Jawaban ketua Rayon kita, eh, ketua Rayon mereka maksudnya, sungguh mempesona: “Ya gimana, aku temenan sama si paslon satu ini udah lama eeee. Nggak enak kalau nggak dimenangkan.”

2 comments

Tinggalkan komentar