Konflik Turki Usmani dengan Safawi dari Sudut Pandang Genealogi

Di abad pertengahan sekitar abad ke-15 hingga abad ke-18, pasca keruntuhan Abbasiyah di Baghdad, telah muncul kembali kekuatan baru politik Islam. Kekuatan itu tumbuh dari tiga kekuatan besar Islam yakni Turki Utsmani di Istanbul (Konstantinopel), Shafawi di Iran, dan Mughal di India. Namun yang akan menjadi topik pembahasan yakni, konflik antara dinasti Turki Utsmani dengan Shafawi dari tinjauan genealogi Michel Foucault.

Turki Utsmani sebagai sebuah imperium yang besar, berdiri lebih dahulu pada tahun 1299 M yang didirikan oleh Utsman I berhasil berkembang berkat kekuatan militernya yang sangat superior dan tangguh dalam medan perang. Hal itulah yang membuat kekuasaan Turki Utsmani berlangsung cukup lama dan mempunyai daerah kekuasaan yang luas dari hasil ekspansi yang dilakukan. Sedangkan Dinasti Shafawi sebagai kekuatan baru pesaing Turki Utsmani yang berdiri pada tahun 1501 di Persia oleh Syah Ismail I yang bermazhab Syiah Isna Asyariyah. Sebagaimana perlu kita ketahui bahwa Shafawi pada awalnya merupakan gerakan Tarekat sebelum Junayd (kakek dari Syah Ismail I) mengubah orientasi dari hanya gerakan spiritual menjadi gerakan politik.

Dinasti Shafawiyah berdiri sebagai dinasti Syiah Isna Asyariyah ditengah-tengah dinasti-dinasti beraliran Sunni seperti Uzbek di Transoxiana, Utsmani di Anatolia, dan Mamluk di Suriah dan Mesir. Namun salah satu yang menjadi ancaman serius adalah keberadaan Turki Utsmani di Anatolia yang terkenal dengan kekuatan militernya yang superior.

Berdirinya dinasti Shafawi yang berbatasan dengan Anatolia yang merupakan daerah kekuasaan Turki Utsmani, tetapi disatu sisi di Anatolia juga terdapat pengikut-pengikut dari Syiah Shafawiyah. Melihat kondisi tersebut, pada tahun 1513 M, Syah Ismail I mencoba untuk mengambil alih Anatolia dari kekuasaan Turki Utsmani.  Namun dengan cukup banyaknya pengikut Syiah Shafawiyah di Anatolia, diyakini oleh Sultan Salim I sebagai ancaman sebelum ia menyerang Persia, ia terlebih dahulu mensterilkan Anatolia dari pengaruh-pengaruh Syiah Shafawiyah. Sehingga terjadilah perang Khaldiran yang berlangsung di barat laut Azerbaijan dan peperangan tersebut berhasil dimenangkan oleh pihak Utsmani. Kekalahan tersebut juga memberikan shock therapy  bagi pihak Shafawi yang menganggap bahwa Ismail yang diyakini sebagai manifestasi Tuhan ternyata kalah oleh Utsmani sehingga melunturkan kepercayaan rakyat Persia terhadap dirinya.

Perseteruan antara Utsmani dengan Shafawi kembali berlanjut di masa Sulaiman Al-Qanuni dimana berhasil ditaklukkannya Azerbaijan (1533 M), Baghdad (1534 M), Tabriz yang merupakan ibu kota negara yang membuat dipindahkannya ibu kota ke Qazvin. Turut sertanya dua saudara Thahmasp yang ikut membantu Utsmani menyerang Persia hingga memaksa Thahmasp melakukan perundingan dengan Turki Utsmani melakukan perdamaian yang berlangsung selama 30 tahun.

Perseteruan antara keduanya kembali terjadi dan berkali-kali terlibat peperangan antar keduanya hingga memasuki zaman kekuasaan Abbas I dimana pada saat itu meskipun sempat terjalin perjanjian perdamaian, Abbas I akhirnya meneruskan konfliknya dengan Turki Utsmani dan selalu memenangkan pertempuran sehingga berhasil menguasai Tabriz, Sirwan, dan Baghdad. Konflik tersebut semakin mempertegas bahwa masa-masa setelahnya tidak ada lagi perdamaian antara keduanya.

Dari peristiwa di atas, konflik yang terjadi antara Turki Utsmani dengan Shafawi yang tiada kunjung selesainya hingga runtuhnya dinasti Shafawi sudah pasti hal utamanya adalah persoalan Sunni di kubu Utsmani dengan Syiah di kubu Shafawi. Jika kita menelisik ke belakang, konflik Sunni-Syiah memang sudah terjadi akibat perbedaan pandangan politik mengenai siapa yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Nabi wafat. Syiah meyakini bahwa politik mereka didasari oleh agama maka menjadi satu kesatuan, sehingga dari keluarga Nabi lah yang berhak meneruskan kepemimpinan Nabi. Sementara pihak Sunni berpendapat bahwa politik adalah persoalan berbeda dengan agama tetapi bukan berarti ada pemisahan antara keduanya.

Dinasti Shafawi yang awalnya merupakan gerakan tarekat menjadi gerakan politik yang didirikan oleh Junayd yang mengajak pengikut-pengikutnya untuk berjuang hingga di masa cucunya, Ismail I yang mendirikan kerajaan Shafawi dan menjadikan paham Syiah Isna Asyariah sebagai paham resmi negara. Karena motif politik dan berusaha menunjukkan eksistensinya, Shafawi menjadikan paham Syiah sebagai alat untuk menumbuhkan Nasionalisme Persia dan menyatakan berbeda dengan Turki Utsmani yang memang pada sejarahnya masuk Islam pada abad ke-9  dan menerima Islam dari golongan Sunni.

Ajaran Syiah di Shafawi, menjadikan pengikutnya sangat termotivasi dalam berperang, karena mereka sendiri mempunyai keyakinan bahwa Abu Bakar, Umar, Utsman dipandang mewakili Islam golongan elite, sementara pendukung Ali bin Abi Thalib dipandang mewakili Islam golongan mustad’afiin  (lemah) yang kemudian muncul idiom “mustakbirin-mustadh’afiin” sehingga menumbuhkan rasa tertindas dan berusaha bangkit di kalangan mereka sebagai yang tertindas.

Tinggalkan komentar